image: detik.com |
Masa remaja adalah masa transisi yang penuh dengan perubahan, salah satunya dalam hal identitas diri. Pada masa ini, remaja cenderung mengeksplorasi identitas mereka melalui berbagai aktivitas seperti membaca, menonton, bermusik, atau bergabung dengan komunitas yang mendukung minat dan bakat mereka. Oleh karena itu, kesehatan jiwa remaja, khususnya pelajar, perlu mendapat perhatian lebih, mengingat banyak di antara mereka yang masih kesulitan dalam meregulasi emosi.
Contoh yang penulis alami sendiri adalah ketika dihadapkan dengan salah satu peserta didik yang memiliki keistimewaan dalam hal sosial emosional. Andri, misalnya, tampak seperti siswa biasa: berteman baik dan berbicara dengan sopan kepada guru. Namun, di dalam hatinya, ia bergulat dengan perasaan akibat perkataan seorang guru yang membandingkan hasil belajarnya dengan hasil belajar teman-temannya. Mungkin bagi sebagian orang, hal ini terlihat sepele, tetapi yang perlu digarisbawahi adalah bahwa tidak semua anak dapat menerima perkataan seperti itu dengan kepala dingin. Setiap anak memiliki kecerdasan yang berbeda, misalnya dalam bidang linguistik-verbal, logis-matematika, musikal, interpersonal, dan sebagainya.
Saat itu, Andri baru pertama kali kembali ke sekolah setelah menjalani perawatan selama satu tahun di Rumah Sakit Jiwa, dengan bimbingan seorang psikiater yang masih mendampinginya hingga kini (seperti yang ia ungkapkan kepada penulis, meski sebelumnya ia tidak pernah bercerita kepada siapapun). Hingga sekarang, penulis terus memantau perkembangan belajarnya, yang kini sudah duduk di bangku sekolah menengah atas. Kisah Andri mengajarkan kita betapa pentingnya kedekatan emosional antara guru dan peserta didik. Kedekatan ini memiliki dampak signifikan pada perkembangan mereka dan dapat menjadi salah satu faktor penentu kesuksesan mereka di masa depan.
Sayangnya, hal ini menjadi sebuah problematika tersendiri di lingkungan pendidikan yang seringkali lebih mengutamakan angka sebagai hasil akhir, ketimbang pemahaman dan kesehatan mental peserta didik. Padahal, dengan menanamkan pemahaman yang sehat dan bijak, serta menjaga kewarasan peserta didik, hasil akhir yang dicapai dapat jauh lebih optimal.
Tantangan dalam Sistem Pendidikan di Yogyakarta
Terutama di sekolah-sekolah di Yogyakarta, di mana penerapan ASPD (Asesmen Standardisasi Pendidikan Daerah) menjadikan peringkat sekolah sebagai prioritas utama bagi guru dan pihak sekolah. Namun, pendekatan ini lebih sering berpotensi menjadikan siswa seperti robot yang hanya berfungsi untuk memenuhi perintah. Jika kita melihat dari sisi Dinas Dikpora DIY, ASPD sejatinya dimaksudkan sebagai alat ukur untuk menilai sejauh mana pemahaman peserta didik terhadap materi yang diajarkan, sekaligus sebagai bahan evaluasi diri. ASPD juga digunakan sebagai data sekunder untuk memetakan mutu capaian akhir di masing-masing satuan pendidikan serta sebagai bahan evaluasi untuk meningkatkan pengajaran dan pemahaman materi kepada peserta didik. Yang penting, nilai ASPD tidak boleh digunakan sebagai dasar untuk menentukan kelulusan siswa.
Sering kali, sekolah dianggap oleh para peserta didik sebagai tempat yang melelahkan dengan segudang tugas yang tak kunjung selesai. Banyak dari mereka yang tidak memahami tujuan dari tugas-tugas tersebut. Sisanya, mereka hanya mengerjakan tugas untuk mengejar nilai demi melanjutkan pendidikan ke tingkat berikutnya. Sebenarnya, tidak ada yang salah dengan hal ini, namun ini juga bukan cara yang ideal. Oleh karena itu, penting bagi kita untuk meluruskan pemahaman ini kepada para peserta didik. Tugas seorang guru adalah tidak hanya menyampaikan materi, tetapi juga menguasai keterampilan sosial emosional yang dapat menjembatani hubungan antara guru dan siswa. Mengapa?
- Kepedulian (Caring Relationship): Kepedulian adalah dasar dari hubungan guru dan siswa. Dengan menanamkan kepedulian, seorang siswa akan merasa lebih percaya diri untuk mengekspresikan dirinya.
- Kedekatan Emosional: Kedekatan emosional dapat memengaruhi suasana belajar. Lingkungan kelas yang menyenangkan akan menciptakan suasana yang kondusif bagi proses pembelajaran.
- Motivasi Positif: Guru yang peduli dapat memberikan motivasi dan energi positif kepada siswa, yang sangat dibutuhkan dalam proses belajar
Pada dasarnya, guru memiliki peran seperti orang tua dalam mendampingi peserta didik dalam proses perkembangan mereka. Jika guru mengabaikan kebutuhan emosional siswa, maka siswa akan tumbuh dengan rasa kekosongan, tanpa tumpuan hidup, dan penuh ketakutan di sisi psikologisnya. Oleh karena itu, seorang guru perlu menjadi sistem pendukung yang membantu mendidik siswa, bukan sekadar penguasa kelas yang ditakuti.
Referensi:
Mutyati, dkk. (2023). Pentingnya Pemahaman Emosi dalam Proses Pembelajaran di MI Al-Mashri Pangkalan Balai-Banyuasin. IMEIJ, 4(2), 1198-1208.
Ramadini, SRAP. (2024). Implementasi Kebijakan Asesmen Standardisasi Pendidikan Daerah Pada Sekolah Dasar Favorit di Kota Yogyakarta. Journal Student UNY, 13(1), 1-16.
comment 0 Comment
more_vert